Judul di atas bisa jadi merupakan arti sesungguhnya dari beberapa
kata bahwa sebagai manusia kita merupakan makhluk pembelajar (homo sapiens)
yang bisa jadi dalam kondisi sakit. Sakitnya para pembelajar seperti orangtua,
para guru, atau siswa serta siapa saja yang masih sadar akan pentingnya
berinteraksi, bisa jadi karena belajar merupakan proses pemanfaatan semua
potensi manusia yang berpikir sekaligus merasakan.
Berpikir
dan merasa ialah dua kendali yang melibatkan hati dan pikiran, sedangkan wadah
untuk berpikir dan merasa ialah badan atau fisik manusia yang habitatnya selalu
ingin mencoba, entah dalam bentuk bermain, bergerak, dan sebagainya.
Seseorang
dikatakan sebagai pembelajar yang sakit karena hakikat belajarnya tidak terjadi
keseimbangan antarahati, pikiran, dan kondisi badan.
Akibat
yang muncul ialah menyedihkan, yaitu kebodohan, kemiskinan, dan pada tingkat
tertentu ialah kemunafikan yang suram karena penuh kepalsuan dan kebohongan.
Mungkin
ini yang sedang terjadi dalam diri saya ketika badan ditimpa kesakitan luar
biasa karena kanker, jangan-jangan itu merupakan akibat dari tidak seimbangnya
hati dan pikiran dalam mengelola pengalaman belajar yang sungguh kompleks dan
sulit menghadang interaksi antara keinginan yang ideal dan kenyataan yang
sesungguhnya terjadi.
Terus
merasa dan berpikir Dalam pandangan para ahli hikmah, manusia disebut sebagai
hewan yang berpikir (al-insaan hayawan al-naathiq). Berpikir (think) itu kata kerja, sebuah kerja yang menggunakan
otak (brain) agar manusia dapat menggunakan akal pikirannya (mind) dalam
melakukan sesuatu.
Namun, menggunakan otak saja tak
cukup. Karena itu, otak perlu penuntun. Fungsi penuntun diletakkan di hati,
sebuah benda yang tak jelas posisinya karena ketika kita mengatakan ‘hati’ kita
selalu memegang bagian dada kita, tempat jantung dan paru-paru berada.Hati,
jika tak salah, letaknya di bagian belakang dan bawah perut.Dalam bahasa agama,
jika otak sudah dipadukan dengan hati, seseorang dapat disebut telah berakal
(sensible), sebuah potensi yang membuat manusia berbeda dan disebut hewan yang
berpikir, hewan yang memiliki otak paling lengkap dan sempurna.
Dalam laporan PubMed misalnya, sejak
1996 sampai dengan 2000, setiap tahun rata-rata dibuat sekitar 30.000 laporan
penelitian dan karya ilmiah tentang otak.
Namun, ribuan ilmuwan tersebut masih
mengatakan,
“There is more we do NOT know about
the brain, than what we do know about the brain.” (Masih banyak yang TIDAK kita
ketahui tentang otak daripada yang telah kita ketahui tentangnya).
Betapa luas Tuhan menciptakan
‘seonggok benda’ bernama otak yang begitu rumit dan sempurna. Seberapa besar
pengetahuan kita dan guru-guru tentang otak?
Saya ingin membayangkan seorang
tukang reparasi komputer, tentu dalam rangka menjaga profesionalitasnya akan
sangat berhati-hati dalam memperbaiki dan mengisi berbagai jenis program ke
dalam memori komputer. Karena itu, sudah sepantasnya jika para guru memahami
fungsi otak secara baik agar mereka memiliki kehati-hatian dalam memasukkan
informasi berharga kepada anak didiknya. Namun, sayangnya ini kenyataan,
seseorang kadang berhasil di tempat terluar dari dirinya, tetapi gagal dalam
mengelola kebutuhan kejiwaan anak-anaknya.
Perasaan sakit saya kali ini lebih
banyak karena merasa gagal menjadi orangtua karena kurang hati-hati ketika dulu
mencoba memasukkan memori dalam benak anak-anak. Jangan-jangan ada ribuan
orangtua seperti saya yang selalu memberikan memori negatif ke dalam relung
jiwa dan pikiran anak-anaknya.
Hanya mencoba Sebagai pembelajar,
kesadaran sangat diperlukan untuk melihat bahwa kesalahan ialah hal mutlak yang
bisa terjadi pada siapa saja. Karena itu, meskipun menjadi orang yang sempurna
ialah sebuah kemustahilan, mencobanya merupakan keinginan untuk terus belajar
dari kesalahan. Dalam mengajar, para guru jelas harus memiliki jiwa pantang
menyerah dan terus mencoba meskipun itu salah.
Saya teringat penulis The Alchemist,
Paulo Coelho, yang dalam kumpulan nasihat sederhana dan memikatnya Warrior of
the Light: A Manual (2011), menulis “The warrior of the light is always trying
to improve. A warrior of the light is always committed. He is the slave of his
dream and free to act”.
Sebagai sebuah catatan pendek
tentang betapa pentingnya menerima kegagalan, menghargai kehidupan, dan
mengubah jalan hidup untuk mengubah takdir seseorang, buku itu sarat akan pesan
moral tentang laku spiritual seorang pejuang sejati.
Sebagai seorang ayah, penting bagi
bagi saya untuk selalu mencoba menjadi figur yang dapat memberikan teladan
tentang laku-spiritual seorang ayah, layaknya para pejuang sejati seperti
pernah ditunjukkan oleh para tokoh, seperti Soekarno, Hatta, Tjokroaminoto, dan
Agus Salim meskipun saya tidak akan mungkin menyamai peran mereka.
Dalam konteks pendidikan secara
umum, saya selalu meminta para guru di Sekolah Sukma Bangsa untuk belajar dari
perspektif Joseph Campbell dalam Hero’s Journey, bahwa perjalanan hidup setiap
pembelajar sejati pasti akan melalui enam tahapan penting. Enam tahapan itu,
yaitu innocence, the call, initiation, allies, breakthrough, dan celebration. Sebelum
seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pasti mereka ialah orang biasa dan
bersahaja (innocence). Barulah ketika mereka merasa ada sesuatu yang harus
diperjuangkan dan merasa terpanggil (the call, beruf) untuk melakukan sesuatu,
maka dimulailah perjalanan seseorang untuk menjadi pembelajar dan pejuang
sejati.
Melalui sebuah usaha dan kerja keras
serta melalui rintangan dan tantangan yang hebat (initiation), seorang calon
pembelajar sejati pastilah membutuhkan teman satu visi dan misi (allies) untuk
mencapai tujuan perjuangannya. Dari pertemanan inilah diharapkan akan muncul
berbagai ide dan terobosan (breakthrough) yang akan memudahkan seseorang
mencapai sasaran dan tujuan yang dikehendaki. Barulah setelah itu seseorang
bisa dikatakan sebagai pembelajar sejati (celebration) karena dapat membuktikan
dirinya berhasil dan bermanfaat bagi sesama bukan hanya karena kerja kerasnya
secara pribadi, melainkan melalui sebuah kesepakatan dan bantuan
teman-temannya.
Selain itu, pembelajar sejati juga
penting untuk mengetahui dan menggunakan kata honesty meskipun sulit
dilaksanakan.
Saya teringat penyanyi Billy Joel
yang mendendangkan dengan penuh kesungguhan lagu honesty yang hits di era
1980-an. Salah satu ungkapan yang menusuk akal dan hati soal honesty dalam lagu
tersebut adalah ungkapan honesty is such a lonely word. Kejujuran hanya sebuah
kata tunggal, sendiri, kesepian, dan seolah memang tak punya kawan.
Kata ini dalam proses pendidikan
kita memang berjalan sendiri dan kesepian karena tak dilekatkan pada persepsi
siswa dan guru secara nyata dan sungguh-sungguh dalam proses belajar-mengajar.
Honesty (kejujuran) ialah pangkal
segala akibat baik dan buruk kehidupan manusia. Jika diabaikan untuk
dipraktikkan, dia akan berakibat negatif ke dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Sebaliknya, jika kejujuran menjadi landasan semua tindakan pembelajaran,
praktik kecurangan, koruptif, perang, kerusuhan, dan sebagainya akan dengan
sendirinya menghilang. Pertanyaannya adalah sedemikian sulitkah menanamkan
kejujuran kepada diri sendiri dan anak-anak kita di sekolah?
Jawabannya ialah, sangat sulit, jika
itu dikembalikan kepada diri sendiri, anak-anak, keluarga, dan lembaga
pendidikan. Sebagai seorang ayah, selain kata maaf untuk semua anak-anak dan
istri, tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali berharap semoga ada kata maaf
lainnya yang tumbuh atas kesalingtergantungan satu sama lain
Sumber
: http://widiyanto.com/homo-sapiens-yang-sakit/