Baru satu abad berlalu sejak
antibiotik dianggap sebagai revolusi pengobatan dalam sejarah manusia.
Namun, kini sisi buruk dari “revolusi” ini telah terungkap setelah bakteri-bakteri modern yang kebal antibiotik bermunculan di seluruh dunia.
Badan Kesehatan Dunia ( WHO)
bahkan menyebut kekebalan bakteri sebagai “salah satu ancaman terbesar
untuk kesehatan global, keamanan pangan, dan perkembangan masa kini” dan
menurut Centers for Disease Control and Prevention, ada dua juta kasus
dan 23.000 kematian akibat infeksi yang kebal antibiotik di Amerika
Serikat setiap tahunnya.
Untuk menangani hal ini, para ilmuwan pun mulai melihat kembali catatan mereka mengenai sebuah senjata ampuh dari awal 1900-an.
Disebut bacteriophage yang berarti “pemakan bakteri”, senjata ini
sebenarnya tidak benar-benar memakan bakteri, melainkan virus yang
menginfeksi bakteri kemudian meledakkannya dengan mereplika diri.
Kemampuan ini pertama kali diamati oleh ilmuwan Inggris, Frederick
Twort, pada tahun 1915 dan dua tahun kemudian kembali dikonfirmasikan
oleh pakar mikrobiologi Kanada dan Perancis, Felix d’Herelle.
Akan tetapi, bacteriophage sangat sulit untuk diisolasi, dimurnikan,
dan diaplikasikan kepada manusia. Dikombinasikan dengan kemunculan
antibiotik yang tersedia dalam jumlah banyak dan efektif membunuh
bakteri, bacteriophage pun dengan segera dilupakan oleh dunia
pengobatan.
Kini, senjata ampuh ini dibangkitkan kembali dengan nama baru, yakni
terapi phage. Semakin banyak juga para pakar pengobatan yang menggunakan
terapi ini untuk mengobati penyakit bakteri yang gagal diobati oleh
antibiotik. Pada tahun 2016, misalnya, terapi ini terbukti mampu
menyelamatkan seorang pria di San Diego yang seharusnya meninggal akibat
penyakitnya. Sejak saat itu, kesuksesan demi kesuksesan dituai oleh
terapi phage.
Carl Merril, mantal ilmuwan dari National Institutes of Health yang
telah mempelajari bacteriophage selama 50 tahun mengatakan kepada The Washington Post 2
Juli 2017, kita benar-benar membutuhkan sesuatu untuk mengobati infeksi
yang kebal antibiotik, jadi kita meniliki kembali virus-virus ini
dengan pengetahuan dan teknologi yang baru.
Sayangnya, terapi phage maupun bacteriophage belum mendapatkan
persetujuan meluas dari lembaga-lembaga kesehatan dunia seperti Food and
Drug Administation (FDA) di AS untuk digunakan kepada manusia, kecuali
dalam situasi yang mengancam jiwa seperti kasus pada tahun 2006. Namun,
beberapa negara seperti Rusia dan Georgia telah menggunakannya sebagai
alternatif dari antibiotik.
Cara Fiori, pakar mikrobiologi FDA, angkat bicara untuk menanggapi
hal ini. Dia berkata bahwa walaupun FDA menyadari potensi bacteriophage
sebagai terapi, data mengenai keefektifan terapi ini sangat terbatas,
terutama karena kurangnya percobaan klinis yang benar-benar terkontrol.
Mudah ditemukan
Salah satu kelebihan dari bacteriophage adalah kemudahannya untuk
ditemukan di mana saja, mulai dari selokan, air laut, tanah, sampai usus
manusia. Bacteriophage juga jauh lebih banyak dari jenis virus mau pun
organisme apa pun dan para peneliti mengestimasi adanya 10 juta triliun
triliun bacteriophage di dunia.
“Usus kita dipenuhi jutaan bacteriophage yang terus-menerus mencoba
untuk membunuh bakteri di dalam usus kita. Oleh karena itu, bakteri pun
selalu berevolusi untuk menghindari phage yang mengejar mereka,” kata
Robert T Schooley, ketua divisi penyakit menular di University of
California.
Selain itu, berlawanan dengan antibiotik yang membunuh semua bakteri,
termasuk yang menguntungkan kita, bacteriophage hanya menarget satu
bakteri spesifik saja. Lalu, semakin sering digunakan, bacteriophage
juga semakin sering mereplika dan semakin efektif dalam membunuh bakteri
tersebut.
Kuncinya adalah mencocokkan bacteriophage yang cocok untuk setiap
bakteri yang menjangkiti manusia. Para ilmuwan pun optimis. Dengan
jumlah dan varian bacteriophage yang luar biasa banyak, mereka yakin
bahwa setiap bakteri memiliki setidaknya satu bacteriophage yang dapat
membunuhnya.
(Sumber: www.kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar